Cerpen Tentang Aku

Hari ini aku terbangun dari tidur memikirkan apa yang aku tulis untuk 30 Hari Menulis Cerita. Tema hari ini sangat unik, yaitu membuat cerpen dari beberapa penggalan kalimat. Sambil berpikir untuk ide nanti aku memberi makan kucingku. Kemudian aku bergegas naik KRL, namun nampaknya aku akan naik kereta di jam selanjutnya. Kupesan indomie goreng telor kornet beserta nasi hangat ,aku mengaduk nasi dalam piring yang dipenuhi indomie. Imajinasi ini berlarian, aku membayangkan nun jauh disana, Menara Eiffel berdiri tegak dan aku bergandengan tangan dengannya. Ya, dengan pria yang melamarku tadi malam, Pikiranku terdistraksi, aku menyadari bahwa token listrik sudah habis. Ah tapi sudahlah, nanti tinggal suruh orang rumah beli.

Sebut saja dia Koko. Dia adalah sosok lelaki yang kukenal sekitar 2 tahun yang lalu. Aku mengenalnya di sosial media, namun ternyata kami dari almamater yang sama. Tingginya 180 Cm. Saat itu aku memberanikan diri bertemu dengannya di UI. Dia sedang menjadi juri dalam perlombaan programming.

Aku menatapnya dari balik kaca. Memotretnya dan menyimpannya. Mungkin itu pertama kalinya aku memberanikan diri bertemu dengan orang yang tidak kukenal dari sosial media. Entahlah, aku merasa seperti ingin mengenalnya saja. Mengenal lebih jauh. Aku duduk di kursi depan, dia menghampiriku. “Dwi? Kamu sudah lama di sini?”sapanya dengan lembut. “Aku hanya memiliki waktu 15 menit, jam istirahatnya sedikit sekali,”tambah Koko.

Kami mengobrol sebentar, seputar apa yang dia kerjakan di sana. Lalu dia beranjak pergi dan kembali memasuki ruangan. Aku kembali menatapnya di balik kaca pintu. Dia kembali melakukan penjurian. Saat itu aku begitu mengaguminya. Pria yang cerdas sangat seksi di mataku. Dia memiliki itu semua.

Setelah beberapa pertemuan berikutnya, aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku ingin serius dengannya. Dia menertawakanku. Aku ingat saat itu aku ada di pinggir pantai, aku merasa dia sedikit cemburu karena aku dikelilingi dengan teman-teman pria. “Kamu suka dengan cowok-cowok itu?” tanyanya di chat. Aku sontak menjawab tidak. Mereka hanya teman-teman baru di komunitas jalan-jalan yang baru kukenal.

Sedikitpun dia tidak pernah menyatakan cintanya padaku. Hubungan kami sempat renggang, aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi yang jelas dia sempat marah kepadaku beberapa kali. Cara dia marah dengan diam. Aku pun gengsi untuk meminta maaf karena aku tidak merasa bersalah. Berkali-kali dia menghapus nomerku di kontak handphonenya. Berkali-kali pula dia menghubungiku kembali.

“Kamu mau gak nikah sama aku? Kita tinggal di BSD,”begitu ucap Koko semalam. Beberapa kali dia mengajakku menikah. Namun dari seluruh ajakannya itu tidak ada satupun yang kuanggap serius. Sekalipun dia tidak pernah mengungkapkan rasa cintanya kepadaku.

“Aku sudah berkali-kali tanya sama kamu, apa kamu ada perasaan cinta? Kamu nggak pernah jawab. Selalu mengalihkan ke topik lain,” jawabku kesal. “Kalau kamu cinta gak?” Koko menanyakan balik kepadaku. Kini dia melempar bola panasnya kepadaku. Lidah ini seperti gengsi mengaku kalau akupun mencintainya. Namun aku mengalihkan pembicaraan. Dia terlihat kesal karena aku selalu menghindar bila topik pembicaraan mengarah ke pernikahan.

“Temui orang tuaku kalau memang mau serius,” jawabku setelah kami berdebat panjang lebar. Dia menganggukan kepala. Entah apa yang ada di pikirannya, padahal dulu dia paling takut bertemu ayahku. Indomie yang kumakan telah habis, perutku sudah kenyang. Kereta yang akan kunaiki akan berangkat 15 menit lagi. Aku harus bergegas menuju peron.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.